Model Pembelajaran yang Berorientasi pada Konstruktivisme


Pandangan umum yang masih dianut guru dan masih berlaku sekarang adalah bahwa dalam proses belajar mengajar,  pengetahuan diberikan oleh guru dan diterima oleh siswa. Keberhasilan dalam belajar diukur dari sejauh mana siswa dapat menunjukkan bahwa mereka dapat mengungkapkan pengetahuan yang diinginkan oleh guru. Jika yang diungkapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan guru maka siswa dianggap tidak belajar. Dengan asumsi ini, maka guru berusaha sangat aktif dalam menyampaikan informasi (dengan ceramah) dan siswa hanya mendengar dan mencatat. (Nggandi K, 1999:1).
Banyak ahli pendidikan mengemukakan pandangan tentang belajar dan mengajar yang berbeda dengan pandangan umum di atas. Beberapa pandangan tentang belajar menurut beberapa ahli di antaranya sebagai berikut.
Piaget (1975) dalam Nggandi Katu (1999:1) menyatakan bahwa:
pengetahuan bukan merupakan sebuah copy dari sebuah obyek, untuk mengetahui sebuah gejala atau kejadian, bukan sekedar membuat suatu “mental copy” atau bayangan tentang sebuah obyek. Mengetahui adalah memodifikasi, menstransformasi obyeknya, dan mengerti proses tranformasinya. Sebuah operasi adalah inti dari pengetahuan; operasi adalah aksi dalam pikiran yang memodifikasi obyek pengetahuan”.
Sedangkan Bruner (1961) dalam Nggandi Katu (1999:2) mengemukakan bahwa proses belajar adalah proses mencari pengetahuan atau yang disebutnya dengan “inquiry or discovery learning”.
Berdasarkan adanya pandangan-pandangan mengenai belajar yang berbeda dengan pandangan umum di atas, maka sekarang ini muncul pandangan baru mengenai belajar yang dikenal dengan nama teori belajar konstruktivisme.
   Menurut pandangan konstruktivis, pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu adalah hasil konstruksi secara aktif dari individu itu sendiri. Individu itu tidak sekedar mengimitasi dan membentuk bayangan dari apa yang diamati atau diajarkan guru, tetapi secara aktif individu itu menyeleksi, menyaring, memberi arti dan menguji kebenaran atas informasi yang diterimanya. Pengetahuan yang dikonstruksi individu merupakan hasil interpretasi yang bersangkutan terhadap peristiwa atau informasi yang diterimanya. Para pendukung konsktruktisme berpendapat bahwa pengertian yang dibangun setiap individu siswa dapat berbeda dari apa yang diajarkan guru (Bodner, 1987 dalam Nggandi Katu , 1999:2). Sedangkan Paul Suparno (1997:61) mengemukakan bahwa menurut pandangan konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pebelajar mengkonstruksi arti (teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain). Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan.
Proses belajar yang bercirikan konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1.       Belajar berarti membentuk makna.
2.       Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus.
3.       Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih dari itu, yaitu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.
4.       Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang meransang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.       Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pebelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6.       Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pebelajar (konsep, tujuan, motivasi) yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997:61)
              Dengan adanya pandangan ini, maka karakteristik iklim pembelajaran yang sesuai dengan konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1.       Siswa tidak dipandang sebagai suatu yang pasif melainkan individu yang memiliki tujuan serta dapat merespon situasi pembelajaran berdasarkan konsepsi awal yang dimilikinya.
2.       Guru hendaknya melibatkan proses aktif dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya.
3.       Pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan melalui seleksi secara personal dan sosial.
           Iklim pembelajaran tersebut menuntut guru untuk :
1.       mengetahui dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa,
2.        melibatkan siswa dalam kegiatan aktif, dan
3.       memperhatikan interaksi sosial dengan melibatkan siswa dalam diskusi kelas atau kelompok. (Horison, et al; Hewson, 1935, Bell, 1923, Driver & Leach, 1993 dalam Medriati Rosane , 1997 : 12)