POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MENSOSIALISASIKAN CERITA RAKYAT KEPADA ANAK DI KOTA BENGKULU¹ (THE FAMILY COMMUNICATION TYPE IN SOCIALIZATION OF FOLKTALE THE CHILDREN AT BENGKULU TOWN)¹


Pendahuluan

Komunikasi sangat penting bagi kehidupan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.  Liliweri (1997:33) menjelaskan tanpa komunikasi adalah kematian.  Sedangkan Littlejohn (1989:1) menyatakan komunikasi bagian yang sentral dan menyentuh seluruh kehidupan manusia.
Komunikasi adalah bagian yang integral dalam aktivitas keluarga. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan melalui komunikasi keluarga adalah kegiatan bercerita kepada anak. Cerita rakyat menurut Danandjaja (1997:4) mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. 
Sosialisasi cerita berpengaruh terhadap sosial-emosional anak.  Berdasarkan penelitian dalam Gottman (1997: 8-9)  menyatakan,
“Orangtua yang melatih emosi dapat menolong anak mereka berkembang menjadi orang dewasa yang lebih sehat, memperoleh nilai lebih tinggi secara akademis dan lebih sukses.”
Penelitian Romsan (1998)  tentang “Cerita Jemaran dalam Sastra Lisan Masyarakat Tulung Selatan Kabupaten Ogan Komering Ilir” menyimpulkan,
“Tidak ada upaya si penutur cerita untuk menurunkan pengetahuannya kepada anak cucu mereka sebagai generasi muda. Tidak ada usaha dari Kanwil Depdikbud Sumatera Selatan untuk melestarikan cerita-cerita rakyat yang mengalami kepunahan.

Regenerasi penutur cerita rakyat di Bengkulu tampaknya kurang  optimal, dapat diketahui dari  hasil penelitian  Sarwono (2000) tentang “Kedudukan dan Fungsi Cerita Rakyat di Bengkulu Selatan”.   Di lain pihak,  kesenian modern yang ditayangkan media audio visual   dapat dipilih sesuai selera konsumen dan  mudah dijangkau, akibatnya pencerita menjadi marginal man.
Sosialisasi cerita berhubungan dengan pola komunikasi keluarga.  Pola komunikasi keluarga menurut  Galvin dan Brommel (1986:45) ada dua tipe yakni: (1) aturan komunikasi, dan (2) alur komunikasi.
Komunikasi keluarga melalui bercerita  diharapkan dapat memupuk keterampilan berbahasa yakni: menyimak, membaca, dan berbicara.  Schultze (1996:10) mengatakan aktivitas komunikasi dalam keluarga dapat dilakukan dengan tiga cara yakni: (1) bercerita,  (2) mendengarkan, dan (3) berempati. 
Aktivitas pokok  komunikasi antara lain, 1) transmisi warisan sosial dari suatu generasi ke generasi berikutnya, dan 2) entertainment (hiburan), dinyatakan Lasswell (dalam Wright, 1985:7-8). 
Peneliti ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi keluarga dalam mensosialisasikan cerita rakyat kepada anak dan dampak sosialisasi cerita terhadap anak.    Berdasarkan penelitian dampak sosialisasi cerita melalui irama, ritme, dan tekanan suara akan memberi ketenangan, kasih sayang, dan empati pada anak serta membantu membebaskan anak dari rasa takut (Kompas, 1999).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pola komunikasi keluarga  dalam mensosialisasikan cerita rakyat  kepada anak di Kota Bengkulu.
Pola adalah  tingkah laku dari suatu keluarga dalam kehidupan sehari-hari yang memberikan ciri tertentu pada keluarga dan tanpa disadari dipelajari dalam keluarga tersebut.  Pola interaksi atau komunikasi ini membentuk sistem keluarga.    
    Fisher (1986: 10) mendefinisikan komunikasi sebagai, “penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan seterusnya, melalui penggunaan simbol, kata, gambar, angka, grafik dan lain-lain. Komunikasi bagian yang integral dalam keluarga.
Keluarga sebagai struktur dapat dianalisis berdasarkan teori Struktural Fungsional dari Comte (dalam Poloma, 1992: 25).  Teori Struktur Fungsional dapat dikaitkan dengan  pernyataan Tubbs dan Moss (1996:215) tentang  keluarga yakni,
“Institusi sosial terkecil merupakan suatu sistem dan terdiri dari subsistem, yang  berhubungan dan saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Interaksi mereka membentuk pola-pola hubungan antara anggota-anggotanya.”

De Vito (1997:231)  menyatakan proses komunikasi keluarga bagian dari komunikasi antarpribadi.  Teori yang dapat digunakan untuk mengkaji komunikasi keluarga adalah teori Interaksi dari Simmel yang menjelaskan,
“1) Dalam jaringan relasi terjadi aksi dan reaksi yang tak terbilang banyaknya. 2) Jaringan relasi-relasi itu tidak sama sifatnya.  3) Dalam jaringan relasi    terbentuk integrasi dan harmonis,  4) Frekuensi interaksi dan kadar interaksi bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah.” (dalam Munandar, 1998:28)

Selanjutnya Galvin dan Brommel (1986: 46) menjelaskan keseluruhan relasi dalam komunikasi keluarga akan membentuk pola komunikasi keluarga. Pola komunikasi keluarga   menekankan pada dua pola komunikasi yakni:
1.       Aturan  komunikasi,  yakni  bagaimana seharusnya suatu komunikasi terlaksana, berkaitan dengan tentang: siapa, apa,  waktu, dan tempat komunikasi.
2.       Jaringan (alur)  komunikasi,   cara    bagaimana   anggota keluarga untuk  berkomunikasi mencakup: Alur rantai, Alur Y, Alur roda, dan Semua saluran.

Sedangkan Soelaeman (1994:50) menyatakan bahwa,
“Pola komunikasi bisa diwujudkan melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman, mimik, atau ungkapan kata. Pola komunikasi berbeda untuk setiap keluarga dan dipengaruhi budaya keluarga.  Keluarga  dianggap sebagai “agent” kebudayaan yakni meneruskan kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya (Soelaeman, 1994:26).

Soelaeman (1994: 81) menyatakan fungsi-fungsi keluarga  yakni,
“(1) Fungsi edukasi, (2) Fungsi rekreasi, (3) Fungsi afeksi,  dan (4) Fungsi sosialisai. Melalui fungsi sosialisasi, keluarga berperan sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial.” .
            Dirdjosisworo (1985:122) menyatakan, 
            “Dalam proses sosialisasi individu mengadopsi kebiasan, sikap, dan ide-ide orang lain dan menyusunnya kembali sebagai suatu sistem dalam diri pribadinya. Proses sosialisasi lebih dipandang sebagai usaha memasukkan pengaruh kebudayaan ke dalam diri individu.”

Buhler dalam Monks (1999:141) mengobservasi anak dari berbagi tingkat umur untuk meneliti bentuk-bentuk permainan yang paling disukai pada tingkat usia tertentu, antara lain permainan peranan, permainan fantasi, dan permainan pisik. 
Sosialisasi cerita kepada anak melibatkan permainan peran, fantasi, dan simbol.  Aktivitas ini menurut Goleman (1999:131) dapat dilakukan sejak bayi sampai remaja, karena akan merekatkan hubungan psikologis dan fisiologis antaranggota keluarga serta membantu orangtua dapat bersentuhan dengan dunia emosi anak.              
Soelaeman (1994:46) menyatakan,
“Keluarga tempat menyajikan seperangkat pola perilaku, kebiasaan, aturan, sistem nilai, pandangan, dan patokan hidup. Keluarga tempat pertama anak berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai emosi, dan sikapnya dalam hidup untuk mencapai ketenteraman dan ketenangan.  dan keluarga tempat tahap awal proses sosialisasi.

Komunikasi dilakukan menurut DeVito (1997:30-33) karena ada empat tujan utama yakni: (1) Penemuan diri, (2) Untuk membina dan memelihara hubungan dengan orang lain, (3) Untuk mengubah sikap dan perilaku  orang lain, (4) Untuk bermain dan menghibur diri.
 Semi (1988:35) menyatakan,
“Salah satu unsur cerita adalah unsur intrinsik, yakni unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan, amanat atau pesan, plot atau alur, pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.  Cerita rakyat yang dimaksud adalah cerita prosa rakyat lisan maupun tulisan yang  dan terbagi dalam tiga golongan yakni: (1) mite, (2) legenda, dan (3) dongeng.

Ada pun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pola komunikasi keluarga dalam mensosialisaskani cerita rakyat  kepada anak di Kota Bengkulu. Sedangkan manfaat penelitian ini  diharapkan dapat memberi gambaran pola komunikasi keluarga dalam mensosialisasikan cerita rakyat kepada anak di Kota Bengkulu, dan memberi masukan kepada pengambil kebijakan, umpamanya Depdikbud. tentang keberadaan cerita rakyat  dalam komunikasi keluarga.