Quantum Learning, Melejitkan Prestasi Belajar


Metode pengajaran di sekolah atau Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) masih banyak yang kurang menekankan pada kegiatan belajar sebagai proses. Metode pengajaran masih sering disajikan dalam bentuk pemberian informasi, kurang didukung dengan penggunaan media dan sumber lainnya.
  
 Kondisi ini yang mendorong Arni Arief Lamaka dan Chaerrun Nisa untuk melakukan penelitian terhadap metode Quantum Learning dalam pengajaran. Kedua siswi SMUN 5 Makassar ini meneliti keefektifan metode Quantum Learning terhadap peningkatan prestasi belajar siswa di LBB Gama College, Makassar. Tidak sia‑sia Arni dan Nisa melakukan penelitian itu. Karya mereka dinyatakan sebagai pemenang pertama Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) 2002 bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Republika, 7/10/2002)

 Quantum Learning, dalam pandangan kedua siswi ini, adalah seperangkat metode dan falsafah belajar untuk semua umur. Ini mencakup aspek‑aspek penting dalam program Neuralinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru. Quantum Learning, dapat pula didefinisikan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Quantum Learning adalah gabungan yang sangat seimbang antara bekerja dan bermain, antara rangsangan internal dan eksternal," urainya.

 Penelitian dilakukan terhadap siswa dari berbagai sekolah di Makassar yang belajar di lembaga ini. Pengambilan sampel dilakukan secara acak ( random sampling). Jumlah populasi sebanyak 140 orang, sampel diambil 30 persen atau 30 orang.Teknik analisis yang digunakan adalah perbandingan mean (rata‑rata). Dengan teknik ini, kata kedua siswi itu, memungkinkan penelitian untuk membandingkan mean siswa yang meningkat prestasinya atau menurun prestasinya dengan metode Quantum Learning. Hasil penelitian dibagi dalam dua bagian: kuantitatif dan kualitatif. Hasil kuantitatif adalah gambaran tentang keefektifan penggunaan metode Quantum Learning terhadap peningkatan prestasi siswa di LBB Gama College Makassar yang dinyatakan dalam angka. Hasil kualitatif adalah rumusan hasil penelitian dalam bentuk pernyataan sebagai penguji hipotesis, yaitu apakah metode Quantum Learning efektif digunakan sebagai metode dalan meningkatkan prestasi siswa di LBB Gama College Makassar.



Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang menjadi objek penelitian dapat meraih keberhasilan atau meningkat prestasinya. Itu karena lembaga ini melibatkan banyak unsur dalam proses belajar mengajar seperti penataan ruangan yang nyaman, penyajian musik pada saat proses  Belajar mengajar berlangsung. Ada komunikasi yang baik dan penggunaan audio visual. Yang paling utama, menurut kedua siswi ini, ialah belajar dengan durasi waktu yang relatif singkat karena menerapkan metode pengajaran serta penyajian materi yang variatik dan inovatik. "Inilah yang disebut seperangkat metode, yaitu Quantum Learning," jelasnya.

Dari serangkaian penelitian tersebut, Arni dan Nisa menyimpulkan bahwa penerapan metode Quantum Learning efektif terhadap peningkatan prestasi belajar siswa bila dibandingkan dengan metode ceramah. Kedua siswi ini juga menyimpulkan, sebagian besar siswa di LBB Gama College menanggapi metode Quantum Learning sebagai salah satu bentuk pencapaian kualitas belajar yang potensial, karena mampu menciptakan belajar menjadi nyaman dan menyenangkan



Konsep Quantum Learning

Quantum Learning merupakan metoda pengajaran maupun pelatihan yang  menggunakan metodologi berdasarkan teori‑teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelligences (Gardner), Neuro Linguistic Programming atau NLP (Grinder & Bandler), Experential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson & Johnson) dan Elements of Effective Instruction (Hunter) menjadi sebuah paket multisensori, multi kecerdasan dan kompatibel dengan cara bekerja otak yang mampu meningkatkan kemampuan dan kecepatan belajar. Percepatan belajar (accelerated learning) dikembangkan untuk menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah dengan secara sengaja menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian, modalitas belajar serta keterlibatan aktif dari peserta.

 Konsep kunci dalarn Quantum Learning dari berbagai teori dan strategi belajar yang digunakan antara lain:

a. Teori otak kanan kiri

b. Teori otak triune (3 in 1)

c. Pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik)

d. Teori kecerdasan ganda

e. Pendidikan holistic (menyeluruh)

f.  Belajar berdasarkan pengalaman

g. Belajar dengan simbol (metaphoric learning)

h. Simulasi / permainan

i.  Peta Pikiran (mind mapping)



Paradigma Belajar Model Quantum Learning

Dalam belajar model Quantum Learning agar dapat berjalan dengan benar ini paradigma yang harus dianut oleh siswa dan guru adalah sebagai berikut :



a.  Setiap orang  adalah  guru  dan sekaligus murid sehingga bisa saling berfungsi sebagai fasilitator
b.  Bagi kebanyakan orang belajar akan sangat efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, lingkungan dan suasana yang tidak terlalu formal, penataan duduk setengah melingkar tanpa meja, penataan sinar atau cahaya yang baik sehingga peserta merasa santai dan relak.
c.  Setiap orang mempunyai gaya belajar, bekerja dan berpikir yang unik dan berbeda yang merupakan pembawaan alamiah sehingga kita tidak perlu merubahnya dengan demikian perasaan nyaman dan positif akan terbentuk dalam menerima informasi atau materi yang diberikan oleh fasilitator.

d.   Modul pelajaran tidak harus rumit tapi harus dapat disajikan dalam bentuk sederhana dan lebih banyak kesuatu kasus nyata atau aplikasi langsung.



e.  Dalam menyerap dan mengolah informasi otak menguraikan dalam bentuk simbol atau asosiatip sehingga materi akan lebih mudah dicerna bila lebih banyak disajikan dalarn bentuk gambar, diagram, flow atau simbol.



f.    Kunci menuju kesuksesan model quantum learning adalah latar belakang (background) musik klasik atau instrumental yang telah terbukti memberikan pengaruh positip dalarn proses pembelajaran. Musik klasik dari Mozart, bach, Bethoven, dan Vivaldi dapat meningkatkan kemampuan mengingat, mengurangi stress, meredakan ketegangan, meingkatkan energi dan membesarkan daya ingat. Musik menjadikan orang lebih cerdas (Jeannete Vos)



g.  Penggunaan Warna dalam model quantum learning dapat meningkatkan daya tangkap dan ingat sebanyak 78%



g.   Metoda peran dimana peserta berperan lebih aktif dalam membahas materi sesuai dengan pengalamannya melalui pendekatan terbalik yaitu membuat belajar serupa bekerja (pembelajaran orang dewasa)



h.     Sistim penilaian yang disarankan untuk abad 21 dalam pembelajaran adalah 50% penilaian diri sendiri, 30% penilaian teman, 20% penilaian trainer atau atasan (Jeannette Vos)



 i.    Umpan balik yang positif akan mampu memotivasi anak untuk berprestasi namun umpan balik negative akan membuat anak menjadi frustasi. Ini berdasar hasil riset pakar masalah kepercayaan diri, Jack Carfiled pada tahun 1982. 100 anak ditunjuk oleh periset selam sehari. Hasilnya, bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negative dan hanya 75 komentar positif.



Untuk meningkatkan percepatan belajar dan efisiensi waktu dan melejitkan prestasi belajar tidak ada salahnya di lembaga-lembaga pendidikan perlu mengembangkan metode belajar dengan konsep Quantum Learning. Apakah Anda para guru/instruktur tertarik untuk mencobanya?.
Salah satu model pembelajaran yang diterapkan di Amerika Serikat adalah model  Quantum Learning. Model ini ditawarkan oleh Learning Forum, yaitu sebuah perusahaan pendidikan internasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan keterampilan pribadi (DePorter, 1992). Metode pembelajaran tersebut dikenal dengan nama program SuperCamp. Dalam program menginap selama dua belas hari ini, siswa-siswa mulai dari usia sembilan hingga dua puluh empat tahun memperoleh kiat-kiat yang membantu mereka dalam mencatat, menghafal dan membaca cepat, menulis, berkreasi, berkomunikasi, dan melakukan kiat-kiat untuk meningkatkan kemampuan mereka menguasai berbagai hal dalam kehidupan. Hasilnya menunjukkan bahwa murid-murid yang mengikuti program tersebut mendapatkan nilai yang lebih baik, lebih banyak berpartisipasi dan merasa lebih bangga akan diri mereka sendiri.

Dari penerapan model Quantum Learning ini telah didapatkan hasil-hasil sebagai berikut: 68% meningkatkan motivasi, 73% meningkatkan nilai, 81% meningkatkan rasa percaya diri, 84% meningkatkan harga diri dan 98% melanjutkan penggunaan keterampilan. (DePorter, 2002). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model Quantum Learning terbukti sangat berhasil dan harus dipertimbangkan sebagai salah satu model pembelajaran yang perlu untuk diterapkan.

Di Indonesia khususnya di kota Makassar, penerapan Quantum Learning ini sudah diterapkan oleh salah satu lembaga kursus, yaitu lembaga kursus Britania Makassar. Lembaga ini meskipun masih relatif baru, tetapi sudah cukup maju dan diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari pelaksanaan supercamp yang rata-rata dilaksanakan setiap bulan, bahkan kadang-kadang dilaksanakan 2 (dua) kali dalam sebulan.Pelaksanaan supercamp ini oleh lembaga Britania selalu dilaksanakan pada hari-hari libur para pebelajar agar tidak mengganggu hari belajar para pebelajar pada sekolah formal, atau programnya diatur dan dijadwalkan sedemikian rupa agar waktu belajar pada pendidikan formal tidak terganggu.

Dengan model Pembelajaran Quantum Learning, lembaga ini mampu mengajarkan Bahasa Inggris kepada para peserta kursus dengan hasil yang sangat memuaskan karena dalam waktu yang relatif singkat (sepuluh hari), para peserta sudah mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara aktif.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penulis sangat tertarik untuk meneliti bagaimana penerapan metode pembelajaran Quantum pada lembaga kursus BRITANIA.

Berkenaan dengan semua fenomena yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam artikel ilmiah ini adalah sebagai berikut: (1) pola komunikasi apa yang paling dominan digunakan dalam model Quantum Learning?, (2) apakah ada hubungan penerapan model Quantum Learning  dan kemampuan siswa berbahasa Inggris?, (3) bagaimana hubungan model Quantum Learning dan  kemampuan siswa berbahasa Inggris?

Tujuan penelitian ini dirumuskan berdasarkan masalah yang ingin dipecahkan, yaitu: (1) mendapatkan informasi tentang pola komunikasi yang paling dominan digunakan dalam penerapan Quantum Learning, (2)  mengetahui ada tidaknya hubungan penerapan model pembelajaran Quantum Learning dengan kemampuan siswa berbahasa Inggris, (3)  mengetahui arah/sifat hubungan  model Quantum Learning dan kemampuan siswa berbahasa Inggris.

Quantum Learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “sugestopedia”. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil   belajar, dan setiap detail apa pun memberikan sugesty positif atau negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugesti.

Istilah lain yang hampir sama dengan suggestology adalah “Pemercepatan Belajar” (Accelerated Learning). Pemercepatan belajar didefinisikan sebagai “kemungkinan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan”.

Quantum Learning menggabungkan sugestology, teknik pemercepatan belajar, dan teori keyakinan. Termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain seperti teori otak kanan/kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistic (menyeluruh), belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (Metaphoric Learning) dan simulasi/permainan.

Perkembangan Kognitif

Secara kualitatif perkembangan perilaku kognitif kemukakan oleh Piaget, sebagai berikut:
1. Tahap Sensori-Motor (0-2)
Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi fundasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.
2. Tahap Pra Operasional (2–7)
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.
3. Tahap konkret-operasional (7-11)
Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.
4. Tahap formal-operasional (11-dewasa)
Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.
Dengan menggunakan hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad (Loree dalam Abin Syamsuddin M, 2001) menunjukkan bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu kepesatannya berangsur menurun.
Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur menurun.


Dengan berpatokan kepada hasil tes IQ, Bloom (1964) mengungkapkan prosentase taraf perkembangan sebagai berikut :
Usia
Perkembangan
1 tahun
Sekitar 20 %
4 tahun
Sekitar 50 %
8 tahun
Sekitar 80 %
13 tahun
Sekitar 92 %
Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

  1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
  2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
  3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
  4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
  5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

MASALAH PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH


MASALAH PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH

Apabila muncul pertanyaan "Apakah perlu pendidikan Budi Pekerti?" maka jawabnya jelas, tidak hanya perlu tetapi wajib. Berbudi pekerti merupakan perwujudan dari pengalaman/pelaksanaan dari ajaran agama. Tidak berbudi pekerti berarti tidak melaksanakan ajaran agama. Agar setiap generasi/individu mampu berbudi pekerti mulia (berakhlakul karimah) maka harus dididik tentang apa dan bagaimana berbudi pekerti yang baik. Oleh karena itu, Pendidikan Budi Pekerti/Pendidikan Akhlak hukumnya wajib.
Maksud dan tujuan dari Pendidikan Budi Pekerti adalah membimbing dan mengarahkan anak berdisiplin dalam mengerjakan segala sesuatu yang baik, dan meninggalkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam segala hal dan setiap waktu. Dengan singkat, dapat dikatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah mendidik anak menjadi orang yang berkepribadian dan berwatak baik.
Pendidikan Budi Pekerti/Akhlak memang wajib diberikan kepada anak didik, tetapi Pendidikan Budi Pekerti/Akhlak tidak perlu dijadikan program pengajaran yang berdiri sendiri (Sutrisno 2001:93-94). Dasar pemikiran dari pendapat di atas adalah sebagai berikut.
a.    Selama ini pendidikan budi pekerti sudah ada dan tengah berlangsung, yaitu dalam Pendidikan Agama (dengan Pendidikan Akhlak), PPKn (dengan nilai-nilai moralnya), dalam Bahasa Daerah (dengan tata kramanya), dan diterapkan pada semua program pengajaran lainnya. Apabila Pendidikan Budi Pekerti dijadikan mata ajar tersendiri maka akan terjadi tumpah tindih antara program pengajaran agama, PPKn dengan budi pekerti itu sendiri seperti yang pernah terjadi pada mata ajar PSPB dengan IPS/PMP dahulu.
b.    Pendidikan Budi Pekerti tidak bisa dipisahkan dengan rangkaian unsur-unsur agama yang saling terjalin berkelindan. Budi Pekerti/Akhlak (Religious attitude) memiliki hubungan erat dengan unsur Iman, Aqidah, Tauhid (belief) dan Amal Shaleh (actions). Berbudi pekerti/ ber-ahlak Al-Karimah memiliki arti melaksanakan ajaran agama (Islam) dalam segala bidang kehidupan yang didasari oleh iman dan niat amal shaleh dengan cara yang ihsan. Oleh karena itu, Pendidikan Budi Pekerti tidak mungkin bisa menggantikan Pendidikan Agama, tetapi harus berada dalam kerangka (menyatu dengan) Pendidikan Agama secara terpadu.
c.    Bahwa kurang berhasilnya Pendidikan Akhlak/Budi Pekerti selama ini bukan disebabkan oleh nihilnya (ketiadaan) Pendidikan Budi Pekerti/Akhlak itu sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
(1) Minimnya jatah (alokasi) waktu yang diberikan untuk Pendidikan Agama (hanya dua jam dalam satu minggu)
(2) Kualitas guru (khususnya guru agama) yang rendah sehingga menyebabkan rendahnya efektivitas dan kualitas Pendidikan Akhlak di sekolah.
(3) Proses Belajar Mengajar Agama (akhlak/budi pekerti) di sekolah lebih menekankan aspek kognitif daripada aspek efektif.
(4) Lingkungan sekolah yang kurang kondusif bagi tumbuh kembangnya budi pekerti/akhlak anak didik.
(5) Pihak sekolah kurang intensif dalam menjalin kerjasama dengan orang tua siswa dan masyarakat secara luas.
(6) Pendidikan budi pekerti belum diintegrasikan dengan semua bidang studi. Dari faktor-faktor kelemahan dalam pendidikan budi pekerti di atas jalan pemecahannya bukanlah dengan membuat program pengajaran baru (Pendidikan Budi Pekerti) yang berdiri sendiri, tetapi dengan meningkatkan kualitas komponen-komponen yang ada dalam proses pendidikan.

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI 

Pada tahun 2000 (Bakri 2001) Departemen Pendidikan Nasional secara khusus menetapkan 4 kebijakan yang dijadikan acuan dalam melaksanakan kegiatan. Keempat kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.
a.    Mengatasi dampak krisis ekonomi dan moneter di bidang pendidikan dan kebudayaan.
b.    Melakukan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas secara terkendali dengan fokus wajar dikdas 9 tahun.
c.    Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan yang adaptif dalam menghadapi tuntutan yang berkembang.
d.    Mengusahakan peningkatan anggaran pendidikan nasional yang berarti secara bertahap hingga mencapai 20% dari APBN.
Beberapa saat setelah Dr. Yahya Muhaimin dilantik sebagai Menteri Pendidikan Nasional telah mengeluarkan tiga kebijakan pokok Departemen Pendidikan Nasional. Ketiga kebijakan pokok tersebut adalah sebagai berikut.
a. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
b. Peningkatan pendidikan budi pekerti
c. Peningkatan budaya baca tulis
Dalam aplikasi pendidikan budi pekerti, baik di Taman Kanak-Kanak/Sekolah Dasar maupun di Sekolah Lanjutan/Sekolah Menengah, pemerintah tidak akan mengkhususkan pendidikan budi pekerti sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Akan tetapi, mengintegrasikannya ke dalam berbagai program pengembangan bagi TK, dan ke dalam mata pelajaran yang relevan bagi sekolah dasar, sekolah lanjutan, dan sekolah menengah. Pengintegrasian tersebut umpamanya dalam mata pelajaran PPKn, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Penjaskes dll.
Yang dimaksud dengan "integrasi" atau "pengintegrasian" di sini adalah upaya terencana untuk memadukan nilai-nilai budi pekerti dalam cakupan (scope) program kegiatan belajar TK dan pokok bahasan atau subpokok bahasan bagi Sekolah sehingga terjadi proses internalisasi (penghayatan) dan personalisasi (pemribadian) nilai-nilai budi pekerti itu bersamaan dengan dipahami, dihayati, dan dilaksanakannya isi program pengembangan atau mata pelajaran tertentu. Dengan kata lain, dampak pembelajaran nilai budi pekerti harus menjadi bagian tak terpisahkan dari dampak pembelajaran sesuai tema atau pokok bahasan atau subpokok bahasan yang relevan.
Tema, Kompetensi dasar dan materi pokok menjadi wahana integrasi nilai-nilai budi pekerti itu. Penempatan nilai-nilai budi pekerti seyogyanya memperhatikan berbagai aspek kehidupan idelogi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan keagamaan. Siklus kehidupan (life cycle) anak mulai dari lingkungan kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat (lokal, regional, nasional). Dengan demikian, nilai-nilai budi pekerti itu benar-benar dihayati dan dilaksanakan sesuai dengan tingkat perkembangan anak (develomental tasks). Mengingat pentingnya peranan guru, diharapkan agar para guru selalu memperhatikan semua prinsip dan melaksanakannya dalam pembelajaran sehari-hari.